CONTOH KASUS 1
Mr X adalah seorang pria lajang berusia 35 tahun yang telah mengikuti
sesi psikoterapi karena menderita gangguan distimikselama beberapa tahun. Setelah
dilakukan eksplorasi dan interpretasi secara sadar, ditemukan faktor penyebab
depresi. Ternyata Mr. X tidak pernah bisa menerima perpisahannya dengan orang
tuanya yang terjadi ketika dirinya berusia sekitar 20 tahun. Pada saat itu, ia telah
meninggalkan karir yang menguntungkan di industri keuangan untuk menjadi guru
sekolah tinggi.Keputusan ini sangat memuaskan baginya secara emosional dan
interpersonal, tetapi bagi orang tuanya hal ini merupakan kekecewaan besar dan
pengkhianatan. Setelah mencoba untuk memperbaiki hubungandan hanya menerima
terus kemarahan dan kritik dari orang tuanya, Mr X akhirnya berhenti bertemu
dan berbicara kepada mereka.Sejauh klien sadar, ia telah melupakan sakit hati
nya, kemarahan, dan kerinduan untuk kontak dengan keluarganya. Namun, seperti
mimpi-mimpinya, asosiasi bebas, dan reaksi terhadap eksplorasi terapis, menjadi
jelas bahwa ia terjebak dalam proses berkabung terputus dengan orang tuanya.
Dalam keadaan ini ia dilanda kemarahan pada ibu dan ayahnya, rasa bersalah dan
rasa malu karena telah menyakiti mereka, serta harapan yang tidak realistis
bahwa mereka akan datang suatu hari untuk mencintai dan menerima dia dengan
pilihannya.Semua emosi tersebut disimpan di luar kesadaran melalui proses
defensif aktif, di antaranya adalah keputusan yang tanpa disadari mengubah
kemarahannya melawan dirinya sendiri. Hasil dari serangan-serangan tak sadar
pada dirinya sendiri menjadikan dirinya merasa sedih, lesu, dan terus-menerus
diganggu oleh pikiran-kritik dan bayangan diri. Interpretasi proses tak sadar
dan emosional ini membantu untuk mendapatkan jarak dan bantuan dari sikap
menyerang terhadap diri sendiri, tapi dia belum bisa menyetujui bahwa pikiran
adalah inti dari permasalahan yang membuatnya depresi.
Pada saat berada di titik ini, restrukturisasi kognitif dimulai
dengan dua tujuan: pertama, untuk meringankan penderitaan klien, dan kedua,
untuk mengeksternalisasi kemarahan klien yang diakibatkan oleh kehadiran
pikiran-pikiran mengenai kemarahannya terhadap orang tuanya. Penggunaan
integrasi kognitif ini merupakan ciri khas dari integrasi asimilatif, karena
melibatkan penggunaan teknik dari terapi kognitif. Dengan cara ini Mr. X sukses
melawan pemikiran diri yang kritis, gejala depresinya pun meningkat secara
signifikan. Ia mulai memiliki waktu yang lebih lama di mana harga dirinya
dipertahankan. Yang terpenting, ia mulai menyadari bahwa stimulus internal
untuk kritik dirinya sering secara samar-samar dirasakan ketika mengingat orang
tuanya, dan ia mulai untuk sepenuhnya merasakan kemarahan atas penolakan mereka
yang masih membara dalam dirinya. Tampaknya bahwa integrasi restrukturisasi
kognitif pada kenyataannya telah mencapai tujuan asimilatif yang membuat klienlebih
mudah menyadari dan mengakui konflik emosional alam bawah sadarnya.Mr X
memperoleh lebih banyak akses untuk menemukan alasan atas kemarahan dan
perasaan atas penolakan yang dialaminya, rasa bersalah dan rasa kegagalan pun
menjadi sangat berkurang. Namun, ia juga mengalami peningkatankerinduan
terhadap orang tuanya dalamhal cinta dan persetujuan mereka. Perasaan ini membimbingnya
untuk menghubungi orang tuanya, tapi dia menolak dengan cara yang dingin dan
kejam ketika ia diminta untuk kembali ke pekerjaan lamanya. Pengalaman ini
tentu saja sepenuhnya mengecewakan bagi klien, tetapi membantunya untuk
memulihkan serangkaian kenangan dari masa kecilnya yang semuanya berkaitan
dengan ketidakmampuannya untuk memenuhi tuntutan orang tuanya untuk sukses di
bagian akademik, sosial, dan atletik. Kenangan ini bergema dalam dirinya saat
ini dan menumpuk dalam pikiran serta emosinya. Kenangan ini dieksplorasi selama
beberapa minggu pertama sesi terapi tanpa banyak kemajuan, tujuannya agar dapat
menghubungkan dirinya dengan perasaan bahwa dirinya dicintai.
Mengingat bahwa dirinya sudah sangat mengenal teknik terapi
kognitif yang kurang berhasil mengatasi masalahnya, Mr. X meminta terapis untuk
menggunakan cara lain dalam mengatasi permasalahannya. Terapis kemudian
menyarankan untuk menggunakan teknik kursi kosong. Metode ini berasal dari
terapi gestalt dan melibatkan pembicaraan dengan imajinasi seseorang yaitu klien
yang sedang membayangkan/berimajinasi dan duduk di kursi terapi. Teknik ini
telah ditemukan secara empiris menjadi sangat efektif dalam membantu orang
dengan ‘urusan yang belum selesai’ dalam kasus ini, yaitu perasaan berkabung
atas putusnya hubungan klien dengan orang tuanya sertaharapannya terhadap
persetujuan orangtua dan cinta yang tampaknya tidak mungkin untuk didapatkan. Penyesuaian
preskriptif dari teknik yang efektif dengan masalah tertentu ini adalah eklektisisme
teknis, tetapi dalam kasus ini juga memiliki tujuan yang asimilatif. Terapis
berharap bahwa faktor-faktor bawah sadar klien dapat lebih mudah ditelusuri dengan
mendapatkan gambaran interaksi antara klien dengan orang tuanya dalam sesi
tersebut. Dengan cara ini, Mr. X seperti berbicara dengan tokoh-tokoh imajiner
dan mampu memenuhi kebutuhannya akan cinta dan persetujuan dari orang tuanya, dan
menemukan bahwa katarsis ini membuatnya sedih tapi terhibur pada saat yang
sama, dengan rasa berkurangnya terhadap kebutuhan yang selama ini
diharapkannya. Dari gambaran tersebut, klien menyadari bahwa dia selalu
menyalahkan diri sendiri atas sikap dan kritik orang tuanya. Dialog dengan ‘mereka’ membantunya untuk
menjadi lebihmenyadari keterbatasan emosional intrinsik orang tuanya, dan
untukmemisahkan rasa berharga dan perasaan dicintai dariketidakmampuan mereka
untuk mencintai. Sekali lagi, teknik integratif telah sukses pada dua tingkat,
dalam hal ini pada tingkat pengalaman metode yang telah dirancang, dan pada
tingkat psikodinamik untuk hal yang telah terintegrasi dalam mode asimilatif.
Setelah sekitar 11 bulan terapi, Mr X telah membebaskan diri
dari suasana hati dysphoric, tetapi
sudah mulai mengalami serangan sering kecemasan yang berbatasan dengan panik.
Hal ini memperjelas bahwa ia juga menderita kecemasan sosial yang signifikan yang
telah tersamarkan dan dihindari oleh depresinya. Upaya untuk mengeksplorasi
gejala kecemasan Mr X, dan untuk mengidentifikasi pemicu situasional atau makna
psikodinamik gejala-gejala tersebut, adalah sia-sia. Mr X merasa tak berdaya
dan tidak kompeten selama diskusi ini, dan terapis akhirnya mulai
mempertimbangkan interaksi ini sebagai pengulangan transferential beberapa hubungan masa lalu di mana kesulitan Mr X
itu telah membuat kurangnya perhatian atau kompetensi pada bagian penting
lainnya. Terapis kemudian menyarankan perubahan taktik: pengenalan teknik
kognitif-perilaku yang ditujukan untuk relaksasi, manajemen kecemasan, dan
menenangkan diri.Teknik ini telah digunakan untuk beberapa tujuan simultan.
Tujuan pertama adalah untuk mengatasi keadaan klinis dan untuk memungkinkan Mr
X untuk menguasai kecemasan dan untuk mendapatkan tingkat baru kenyamanan
ketika menghadapi kecemasan. Kedua, intervensi aktif adalah cara untuk
memindahkan terapi melewati jalan buntu ini, dan dengan demikian dapat mengatasi
resistensi yang terlibat dalam gejala kecemasan klien tanpa mengatasi
resistensi tersebut secara langsung. Upaya untuk menggali dan menafsirkan
termotivasi secara tidak sadar, sifat resistif kecemasan klienternyata hanya
membimbingnya untuk merasa dikritik, tidak efektif, dan ‘bodoh’serta
menimbulkan persepsi bahwa terapis bersikap memusuhi dan merendahkan. Akhirnya,
terapis berharap bahwa dengan aktif membantu Mr X untuk mengurangi
kecemasannya, klien akan memiliki pengalaman(korektif emosional) langsung dimana klien dihargai dan dirawat
yang akan menerangi dan memperbaiki perlakuan negatif dalam hubungan antaraklien
dan terapis. Dengan begitu Mr X menjadi lebih mampu mengelola kecemasannya, ia
juga menjadi lebih sadar akan pencetus interpersonal/awal mula gejala ini, dan
juga lebih mampu mengeksplorasi makna penghindaran. Yang paling penting, klien
dan terapis mampu untuk membangun kembali aliansi kerja yang positif dan untuk
mengeksplorasi hubungan masa lalu yang bermanfaat, terutama dengan ayah Mr X,
di mana rasa sakit dan ketakutan Mr X itu telah dipenuhi oleh ketidakpedulian
dan ejekan. Saat ia menyatakan, “Dengan menunjukkan bahwa Anda peduli bagaimana
perasaan saya dan bahwa Anda bersedia untuk membantu dengan cara menerima, Anda
membuktikan betapa berbedanya Anda dari ayah saya. Hal ini memungkinkan saya
untuk melihat dan merasakan betapa sakit hati dan marah padanya ketika ia
menertawakan saya saat saya takut, dan bagaimana saya menyangka saya mendapatkannya
dari orang lain sekarang.”
Contoh kasus ini menunjukkan cara-cara di mana intervensi dari
sistem terapi lain dapat berasimilasi ke dalam terapi psikodinamik, mengubah
makna dan dampak dari intervensi itu, dan berakibat pada perubahan psikodinamik
dan interpersonal yang tidak dapat diantisipasi (kognitif-perilaku dan
pengalaman) sistem. Intervensi aktif menyebabkan pengurangan gejala nyeri dan
perolehan keterampilan baru, tetapi juga menyebabkan perubahan radikal dalam
pertahanan klien, situasi transferensi, dan pemahamannya tentang psikodinamikanya.
Yang paling penting, penyediaan/intervensi aktif membantu mengarahkan pada
pembentukan cara-cara baru dan penting untuk memahami dirinya sendiri dan
orang-orang penting dalam hidupnya, yang menjadi dasar untuk harapan, rasa
harga diri, dan kebebasan baru, kesedihan, serta cara hidup.
ANALISIS
Kasus
tersebut menggunakan teknik perspektif integratif dimana penyelesaian masalah
klien menggunakan penggabungan beberapa terapi. Terapi pertama yang digunakan
adalah terapi kognitif yang bertujuan untuk menemukan dan menelusuri penyebab
dari permasalahan yang dihadapinya dan hal-hal yang tersimpan dalam alam bawah
sadarnya. Terapi ini berhasil membuat klien menyadari konflik emosional yang
dialaminya dan menurunkan rasa penyesalan serta rasa gagal klien. Namun, hal
ini meningkatkan kerinduan klien akan kasih sayang orang tuanya. Kemudian untuk
mengatasi hal ini, terapis menggunakan terapi kursi kosong yang merupakan
teknik gestalt. Terapi ini berhasil membuat klien menggambarkan bagaimana pola
interaksinya dengan orang tuanya, dan bagaimana ia tidak dapat memenuhi
tuntutan orang tuanya sejak dulu. Terapi ini juga berhasil membuat klien
memenuhi kebutuhannya akan kasih sayang orang tua yang selama ini
diharapkannya, melalui proses interaksi dengan tokoh-tokoh imajiner dalam
bayangannya. Setelah 11 bulan menjalani terapi, klien berhasil melepaskan diri
dari perasaan disporik, namun mulai timbul panik dan kecemasan. Terapis
kemudian menyarankan klien untuk menjalani terapi perilaku-kognitif. Hal ini
bertujuan untuk mengatasi keadaan klinis dan untuk memungkinkan klien untuk
menguasai kecemasan. Awalnya teknik ini menimbulkan perasaan-perasaan negatif
klien dan hubungan dengan terapis pun menjadi negatif. Namun, terapis
membimbing klien dengan cara menghargai dan merawatnya secara langsung untuk
memperbaiki hubungan negatif tersebut. Hal ini akhirnya berhasil memunculkan
kembali hubungan positif klien dan terapis, serta membuat klien yakin bahwa
rasa takut dan kecemasannya tidak selalu membuat orang-orang di sekitarnya
menghindar dan mengejeknya, seperti yang pernah dilakukan ayahnya.
Sumber
:
Jerry,
G. 2002. Encyclopedia of Psychotherapy: Integrative
Approaches of Psychotherapy. USA:
Elsevier Science
CONTOH KASUS 2
Mila, sebut saja begitu. Seorang mahasiswa tingkat tiga di salah
satu Universitas ternama di kota Makassar. Mila dalam keseharian dikenal
sebagai seorang mahasiswa yang ramah oleh teman-temannya. Tidak ada yang salah
dalam perilakunya, namun lain halnya bagi teman-teman dekat Mila. Mereka merasa
bahwa Mila memiliki kecemasan yang berlebihan, sehingga setiap saat harus
ditemani oleh temannya. Terutama dalam hal-hal yang membutuhkan pilihan. Bagi
teman-temannya, perilaku Mila yang terlalu bergantung pada orang lain cukup
mengganggu, mereka mengkhawatirkan apa yang akan terjadi jika tidak ada mereka
disamping Mila. Setelah melakukan wawancara langsung dengan Mila yang dibungkus
dalam bentuk curhat-curhatan, Mila mengaku bahwa ia menjadi seperti itu karena
Mila yang juga merupakan anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan di
keluarganya sewaktu kecil segalanya diuruskan oleh orang tua dan
kakak-kakaknya. Mila mengatakan bahwa pernah sekali ia bermain dengan ayahnya,
ketika sang ayah tidak melihat Mila yang tengah bersembunyi dibalik tembok dan
tiba-tiba mengagetkan ayahnya. Namun, ternyata ayahnya langsung jatuh dan
kejang-kejang sambil memegang dadanya, dan setelah dirujuk ke dokter diketahui
bahwa ayahnya terkena penyakit jantung. Mila sangat sedih dan ketakutan dan
mengaku bahwa saat itulah pertama kalinya ia dimarahi habis-habisan oleh
kakak-kakaknya.
ANALISIS
A. Metode
Penanganan Humanistik
Asosiasi bebas (free
association)
Dalam asosiasi bebas, klien mengungkapkan
apapun yangada pada pikirannya. Asosiasi bebas merupakan proses pengungkapan
tanpasensor dari pikiran-pikiran segera setalah pikiran masuk kebenak kita.
Klien diminta untuk tidak menyensor atau menyaring pikiran, tetapi membiarkan
pikiran merekamengembara secara bebas dari satu pikiran ke pikiran lain.
Klien diminta untuk mengungkapkan apapun
yangada pada pikirannya.Pada kasus diatas subjek diminta untuk menceritakan
apapun yang ada dipikirannya. Dengan demikian diasumsikan klien akan melepaskan
hubungan yang penuh konflik dengan orangtuanyamelalui cara mentranfer perasaan
mengenai orangtuanya kepada klinisi. Ketikaperasaan konflik mengenai orang tua
terpacu melalui transference, klinisi dapatmembantu klien untuk proses Working trought. Pada proses ini, klien
dibantuuntuk mencapai suatu resoles
yang lebih sehat bagi masalahnya dibandingkandengan apa yang telah terjadi pada
masa kanak-kanak.Ketika pelaksaan terapi, sering terjadi (resistance) klien atau menarik diri.Dalam hal ini tugas seorang
klinisadalah membantu klien untuk mengatasi hal tersebut. Selanjutnya klinisi
melakukan interpretasi untuk membantu klien.
B. Metode
Penanganan Humanistik
Terapi humanistik dan eksperimental kontemporer
Terapis humanistik dan eksperimental
kontemporer, mementingkan pentingnya memasuki dunia dan pengalaman klien.
Mencobamenangkap hal yang paling penting bagi klien pada saat itu. Dalam hal
inibiasanya menggunakan teknik wawancara motivasi /motivation interview-MIyaitu suatu cara terapis yang berpusat pada
klien untuk mencapai perubahanperilaku dengan cara membantu klien mengeksplorasi
dan mengatasi ketidakseimbangan.
Klinisi melakukan treatmen dengan klien melalui proses
wawancara yang dapat membuat klien rileks.
Melalui proses ini klinisi dapat memasuki dunia dan pengalaman klien
sehingga klinisi dapat memotivasi klien agar secara perlahan klien dapat
menyadari dan menginginkan serta melakukan perubahan perilaku.
C. Metode
Penanganan Gestal
Terapi kelompok
Kliendalam terapi kelompok biasanya
merasakan kelegaan dan harapan karenamenyadari bahwa masalah mereka tidaklah
unik. Terapi kelompok memberi mereka dukungan situasiyang kondusif untuk
diskusi yang terus terang mengenai dorongan dan metodekontrak diri.
Selain adanya keinginan dari klien untuk melakukan
perubahan, dukungan dari luar juga mempengaruhi. Didalam terapi kelompok klien
diberikan dukungan dari orang-orang yang ada disekitarnya sehingga dapat
membantu terjadinya perubahan perilaku pada klien.
Sumber:
Rakhmawati, dkk. 2012. Metode
Penanganan II (Psikoanalisa,Humanistic,Gestalt). Jakarta: Skripsi.
Tidak diterbitkan.
CONTOH KASUS 3
S
adalah anak yang terdiagnosa mengalami keterlambatan bicara disebabkan kurang
stimulasi usia dini serta kesalahan pola asuh. Saat ini S duduk di TK-A sebuah
TK tri-lingual di Sidoarjo. Pada masa awal kehidupannya, subjek sering berganti
pengasuh dengan pendekatan pengasuhan yang berbeda, pola asuh yang berbeda,
serta penggunaan bahasa yang berbeda pula. Para pengasuh tersebut merupakan
calon TKW magang yang bekerja di perusahaan orang tua subjek. Para calon TKW
tersebut dituntut menggunakan berbagai macam bahasa yang telah diajarkan untuk
persiapan diberangkatkan ke luar negeri. Hal ini menyebabkan bahasa-bahasa
tersebut bercampur dengan bahasa ibu yang dimiliki subjek.
Selain
itu ayah subjek sangat protektif dan tidak pernah membiarkan subjek bermain di
lingkungan luar rumah. Padahal seharusnya subjek bisa berlatih berbicara dengan
melihat interaksi yang terjadi di sekelilingnya. Ketika di rumah pun subjek
hanya memiliki sedikit dorongan untuk berbicara. Orang tuanya pun mengaku tidak
telaten dalam melatih subjek berbicara. Jika menginginkan sesuatu, subjek
terbiasa berteriak dan semua keinginannya langsung terpenuhi. Hal ini membuat
subjek semakin terbiasa untuk tidak berbicara. Kondisi lingkungan pun tidak
mendukung subjek untuk berlatih berbicara.
ANALISIS KASUS
Rancangan
terapi yang diberikan kepada subjek adalah terapi keluarga secara berkala. Hal
ini dilakukan dengan cara memberikan pemahaman kepada keluarga subjek untuk
menyadari adanya kesalahan dalam pola asuh yang membuat subjek terlambat
bicara. Selain itu teknik terapi keluarga juga bertujuan agar keluarga dapat
membantu subjek dalam perubahan perilakunya, seperti memberikan banyak kesempatan
pada subjek untuk bisa berbicara dan mengungkapan keinginannya. Keluarga juga
diharapkan dapat memberikan stimulus-stimulus pada subjek agar mau berbicara
sedikit demi sedikit. Di samping terapi keluarga, digunakan pula terapi
perilaku. Terapi ini dilakukan dengan cara memberikan pelatihan pada subjek
untuk dapat melafalkan kata-kata dengan jelas agar dapat dipahami orang lain.
Selain itu, pemberdayaan lingkungan juga penting dilakukan. Hal ini dilakukan
dengan cara memberi pemahaman kepada para pengasuh subjek dan orang-orang di
sekitar subjek (selain keluarga), mengenai keterlambatan bicara dan cara
pengasuhan yang benar bagi anak yang terlambat bicara. Kombinasi terapi
tersebut diharapkan dapat memberikan perubahan perilaku yang positif bagi
subjek.
Nama
Kelompok :
1. Dita
Ashri Andyini
2. Kartika
Mayang Sari
3. Nanda
Silfi Oktafia
4. Natasia
Adelisa
Sumber:
Habib
& Hidayati. 2012. Intervensi Psikologis pada Pendidikan Anak dengan
Keterlambatan Bicara.Jurnal Madrasah, 5, 1, 86-91.